oleh

Nyadran Desa Wengkal Tradisi Syukur dan Warisan Leluhur yang Mengakar Kuat

-Berita-27 Dilihat

SR JATIM.CO.ID Nganjuk — Suasana khidmat dan penuh kebersamaan kembali terasa di Desa Wengkal, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk. Setiap tahun, tepat pada hari Jumat Pahing di bulan Besar dalam kalender Jawa, warga menggelar tradisi turun-temurun yang sarat makna: Yadran atau Sedekah Bumi.
Di bawah kepemimpinan Kepala Desa Titok Catur Winarko, SE, tradisi ini terus dijaga sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta atas limpahan rezeki dan keselamatan yang diterima warga desa sepanjang tahun. Sejak pagi, warga berbondong-bondong membawa ambeng atau berkat, menuju punden dan makam leluhur — tempat peristirahatan para pendiri dan tokoh babat desa Wengkal. Doa bersama dilantunkan dengan penuh kekhidmatan, mengenang jasa para pendahulu dan memohon berkah bagi generasi penerus.
Usai bancakan, acara dilanjutkan dengan kirab gunungan hasil panen dari balai desa, mengelilingi penjuru desa. Gunungan tersebut kemudian menjadi rebutan ribuan warga yang percaya, membawa pulang bagian dari gunungan akan membawa berkah dan keberuntungan.
Masih dalam rangkaian Bersih Desa, digelar pula tayuban, sebuah pagelaran seni waranggono yang menjadi hiburan rakyat sekaligus ruang ekspresi budaya. Keesokan harinya, tradisi ini ditutup dengan pengajian umum, sebagai simbol harmoni antara adat dan nilai-nilai religius yang hidup berdampingan di tengah masyarakat Wengkal.
Desa Wengkal bukan hanya dikenal karena tradisinya, tetapi juga karena sejarah dan nilai filosofi yang menyertainya. Nama Wengkal, yang berarti “weninge akal” atau kejernihan pikiran, diberikan langsung oleh Kanjeng Sunan Kalijaga pada 16 Juli 1524. Filosofi ini hidup dalam sikap warga yang sabar, narima, dan senantiasa berpikir jernih dalam menghadapi suka dan duka kehidupan.
Terletak di lereng Pegunungan Kendheng, desa ini juga memiliki nilai simbolik tersendiri. Bagi masyarakat Jawa, pegunungan dipercaya sebagai benteng alami penolak hama dan sumber keseimbangan alam.
Lebih dari itu, Wengkal juga dikenal sebagai desa para pengrajin kayu jati. Sejak kecil, warga sudah akrab dengan jenis dan kualitas kayu, menjadikan mereka ahli dalam membuat meja, kursi, amben, lemari, hingga konstruksi rumah. Tak heran, hasil kerajinan Desa Wengkal sering diminati hingga ke pasar ekspor.
Tradisi Yadran bukan sekadar upacara tahunan. Ia adalah pengikat identitas, penyambung nilai, dan cermin dari semangat gotong royong yang tetap hidup di tengah masyarakat modern. Wengkal membuktikan, bahwa kejernihan akal dan kekayaan budaya bisa berjalan beriringan menuju masa depan yang lebih bermakna.
Wengkal: Desa Warisan Sunan Kalijaga yang Tetap Menjaga Kesucian Tradisi

Baca Juga  Pengecoran Jalan TMMD 124 Kodim Nganjuk Sudah Sampai titik 700 Meter.

Desa Wengkal bukan sekadar titik di peta Kecamatan Rejoso, Nganjuk. Ia adalah warisan peradaban yang dibangun dengan nilai-nilai spiritual, budaya, dan ketekunan tangan-tangan terampil warganya. Dalam tradisi Yadran, tampak jelas bagaimana identitas desa ini bukan hanya dijaga, tetapi terus dihidupi dengan penuh cinta dan penghormatan.

Warisan dari Seorang Wali

Sejarah mencatat bahwa nama “Wengkal” diberikan langsung oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, salah satu Wali Sanga yang terkenal sakti dan bijaksana. Di tengah perjalanan dakwahnya menyebarkan Islam melalui jalur budaya, Sunan Kalijaga memilih nama “Wengkal” — weninge akal — untuk menggambarkan karakter masyarakat yang ia temui di lereng Pegunungan Kendheng: berpikir jernih, sabar, dan mampu menimbang kehidupan dengan akal yang bersih.
16 Juli 1524, menjadi tonggak berdirinya Desa Wengkal. Sejak saat itu, nilai “narima ing pandum” (menerima dengan ikhlas apa pun takdir kehidupan) menjadi falsafah yang diwariskan turun-temurun.

Baca Juga  Babinsa Koramil 0810/03 Loceret Bantu Petani Penyemprotan Pestisida Basmi Hama

Yadran: Perjumpaan Sakral antara Alam, Leluhur, dan Masyarakat

Yadran bukan sekadar ritual, tapi perjumpaan sakral antara manusia dan alam, antara generasi hari ini dan para leluhur. Dalam setiap berkat yang dibawa ke punden, tersimpan harapan dan terima kasih. Dalam setiap langkah kirab gunungan, ada doa yang mengalir untuk masa depan desa.
“Ini bukan soal makanan atau hiburan semata,” ujar Titok Catur Winarko, SE, Kepala Desa Wengkal. “Ini soal bagaimana kita mengingat asal-usul, menyatu dengan bumi tempat kita hidup, dan menjunjung nilai kerukunan.”
Kirab gunungan bukan hanya tontonan, tapi simbol panen yang cukup, hidup yang layak, dan berkah yang patut disyukuri. Yang paling menarik, ribuan warga ikut berebut gunungan itu bukan karena lapar, tapi karena percaya akan nilai spiritual dari hasil bumi yang sudah didoakan bersama.

Pusat Kerajinan Jati: Dari Wengkal untuk Dunia

Tak kalah membanggakan, Desa Wengkal juga menjadi sentra pertukangan kayu jati. Sejak kecil, anak-anak Wengkal mengenal berbagai jenis kayu, alat pahat, dan teknik merangkai. Di balik rumah-rumah warga, tersembunyi bengkel-bengkel kecil yang menghasilkan karya berkelas: meja, lemari, kursi, bufet, hingga konstruksi rumah.
“Kalau soal kualitas, kita berani tanding. Sudah banyak pesanan dari luar kota, bahkan luar negeri,” kata Pak Darmo, seorang pengrajin jati yang mewarisi keahlian dari tiga generasi sebelumnya.
Produk Wengkal bukan hanya soal bentuk dan fungsi, tapi juga cerita — tentang tangan-tangan terampil, tentang rasa cinta pada kayu, dan tentang filosofi kerja yang tidak tergesa, tapi pasti.

Baca Juga  Peran Serta Babinsa Koramil 0810/01 Nganjuk Dalam Pendampingan Panen Padi Warga Di Wilayah Binaan

Harmoni: Kekuatan Terbesar Wengkal

Di saat banyak desa kehilangan identitas, Wengkal justru makin mantap melangkah di tengah perubahan zaman. Tradisi tetap dijaga, teknologi mulai diserap, dan yang paling utama: kerukunan antarwarga tak pernah pudar.
“Orang Wengkal itu sederhana tapi tangguh. Bungah susah dilakoni, kabeh diterima kanthi weninge ati,” ujar seorang sesepuh desa.
Dengan semangat gotong royong, kejernihan berpikir, dan keteguhan menjaga akar budaya, Desa Wengkal menjadi contoh bagaimana sebuah desa bisa tumbuh maju tanpa meninggalkan jati dirinya.
Liputan eksklusif ini menjadi bukti bahwa dari lereng Kendheng, Wengkal bersinar — bukan hanya karena sejarahnya, tapi karena warganya yang terus menjaga cahaya itu tetap hidup.

“Wengkal bukan hanya desa. Wengkal adalah jiwa yang bening, yang menyatu dalam doa dan kerja keras.”

Reporter : Ahmad Zaqi Mawardi

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *