oleh

Sedekah Bumi Dusun Seloguno: Ketika Tradisi Menjadi Simbol Perlawanan Diam Warga Terhadap Kekuasaan

-Berita-151 Dilihat

SR JATIM.CO.ID , Nganjuk – Sedekah bumi, tradisi sakral tahunan yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur Dusun Seloguno, Desa Perning, Kecamatan Jatikalen, tahun ini terasa janggal. Di permukaan, genduri dan doa tetap dilakukan seperti biasa—berpusat di Makam Leluhur dan Punden Tirto Mulyo. Namun di balik hidangan tumpeng dan untaian doa itu, tersimpan ketegangan sosial yang tajam: dusun terbelah dua, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah desa sedang mengalami ujian serius.

Warga Melawan Lewat Tradisi
Tak kurang dari 95 persen warga Seloguno—dari total sekitar 400 jiwa—menggelar sedekah bumi lebih awal, Minggu (16/6/2025). Bukan karena alasan teknis, melainkan sebagai bentuk solidaritas diam-diam terhadap Wahyu Setiawan, mantan Kepala Dusun yang diberhentikan tanpa alasan yang jelas di mata warga.
“Kami tidak pernah diberi penjelasan gamblang. Tidak ada musyawarah, tidak ada penyampaian terbuka. Tahu-tahu Pak Wahyu diganti. Ini bukan soal politik, ini soal rasa keadilan,” ungkap Imam Efendi, warga sekaligus tokoh masyarakat Seloguno saat ditemui di kompleks makam dusun.
Sedekah bumi seolah dijadikan warga sebagai panggung kritik sosial. Ketidakhadiran Kepala Desa Perning dalam acara ini memperkuat dugaan adanya jarak yang makin melebar antara pemerintahan desa dan mayoritas warganya. Bahkan, kasun pengganti pun absen. Yang terjadi justru, warga mengambil alih seluruh jalannya prosesi, mulai dari penggalangan dana, masak genduri, hingga koordinasi kegiatan tahlil.
“Kami rindu keadilan, bukan sekadar jabatan. Kalau desa tak mau hadir, biar dusun yang bergerak,” tegas Ibu Sri Lestari saat dijumpai di Punden Tirto Mulyo, titik keramat yang diyakini sebagai pusat kekuatan spiritual dusun.
Dua Hari, Dua Versi Kebenaran
Menariknya, sebanyak 5 persen warga yang mendukung Kasun baru disebut akan menggelar sedekah bumi versi mereka keesokan harinya. Artinya, dalam satu dusun kecil, dua sedekah bumi berlangsung dengan semangat dan narasi berbeda. Ini bukan lagi soal budaya semata, tetapi juga simbol politik sosial yang mencerminkan disonansi kepemimpinan.
Para pendukung Wahyu menyebut pemecatannya sarat kepentingan. Beberapa bahkan menduga ada intervensi elite desa dalam pengambilan keputusan yang cenderung menyingkirkan suara komunitas lokal.
“Dusun kami kecil, tapi bukan untuk diremehkan. Jika hari ini kami bersatu tanpa pemerintah desa, itu bukti bahwa masyarakat punya daya,” ucap salah satu warga muda yang ikut aktif dalam persiapan genduri.
Masa Depan Dusun di Persimpangan
Tradisi yang semestinya menjadi alat pemersatu kini menjadi cermin retaknya kepercayaan publik. Jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa mediasi atau rekonsiliasi yang serius, bukan tidak mungkin akan muncul krisis sosial lebih besar di akar rumput.
Ketika budaya tak lagi dipimpin oleh otoritas formal, dan warga mengambil alih kendali penuh atas hajatan sakral desa, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar tumpeng dan doa, tetapi masa depan tatanan sosial itu sendiri.
Dusun Seloguno hari ini adalah cermin kecil dari fenomena besar: ketika masyarakat merasa diabaikan, maka budaya bisa menjadi alat kritik, simbol perlawanan, sekaligus benteng terakhir identitas mereka.
Reporter : Boniman

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *